PENDAKIAN GUNUNG KEMBANG (PART 2)
(Dokumen Pribadi - Trek Menuju Puncak Gunung Kembang)
Pendakian yang sesungguhnya dimulai! Rombongan kami yang kini berjumlah 9 orang setelah kedatangan Haikal pun memulai petualangan kami di Gunung Kembang pada Jumat malam sekitar pukul 21.00 WIB. Langkah kaki kami terkesan santai karena memang tidak sedang diburu waktu layaknya para pendaki yang berstatus sebagai pekerja. Adapun formasi kami berjalan yaitu barisan paling depan ditempati oleh Hendi, Haikal, lalu Ichsan; untuk anggota perempuan termasuk aku mengisi bagian tengah; dan untuk bagian belakang ditempati oleh Chandra dan Syifa. Pendakian ini dipimpin oleh Hendi karena memang dia yang paling berpengalaman di antara kami walau tidak dapat dipungkiri bahwa Haikal meski jauh lebih muda dari kami berdelapan namun jam terbangnya lah yang paling tinggi dalam kegiatan pendakian karena Gunung Kembang bukan lah gunung pertama yang dia daki melainkan sebelumnya Haikal sudah pernah mendaki Gunung Prau dan Gunung Merbabu (3.145 mdpl).
Trek pertama yang kami harus lewati adalah Kebun Teh. Kebun Teh memiliki jalur yang sempit dan menanjak meski belum sekonsisten trek-trek di atasnya. Selain berupa tanah, kami pun menapaki jalur bebatuan, dan jujur aku tidak menyukai jalur bebatuan ini karena terasa begitu menyiksa kedua kakiku. Di area Kebun Teh ini, kami juga dituntut untuk memanjati sebuah gundukan tanah dengan memanfaatkan karung-karung beras yang tertimbun dan menggelayut sebagai pegangan. Kami diharuskan untuk menyeimbangkan gerak tangan dan kaki secara presisi agar tidak berakhir jatuh karena tergelincir. Menantang memang, untungnya aku berhasil. Dan setelah lumayan lama berjalan entah berapa menit, kami pun tiba di Istana Katak (1.555 mdpl).
Setiba di Istana Katak, perjalanan kembali dilanjutkan. Tidak terlalu jauh dari Istana Katak, kami pun sampai di gerbang pendakian Gunung Kembang yang dinamakan Kandang Celeng (1.688 mdpl). Mengetahui namanya, aku sempat merinding dan merasa was-was karena bisa saja sewaktu-waktu akan kami jumpai sekawanan celeng (babi hutan) di tempat ini. Tapi aku bersyukur karena apa yang aku takutkan tak menjadi kenyataan. Di sini, vegetasi yang ada tidak lagi hamparan perkebunan teh melainkan berupa pepohonan yang tinggi dan lebat.
Dari Kandang Celeng, kami bergerak menuju Pos 1 Liliput (1.792 mdpl) di mana untuk menuju pos ini kami harus melewati vegetasi yang mulai rapat dan jalur yang semakin menanjak. Pos selanjutnya adalah Pos 2 Simpang Tiga (1.849 mdpl) yang mana untuk menuju ke sini kami harus terus berjalan menanjak tanpa bonus. Setelah itu, kami kembali harus bergerak di atas jalur yang semakin menanjak parah untuk menuju Pos 3 Akar (1.938 mdpl) di mana banyak pohon berakar gantung tumbuh di wilayah pos ini.
Energi kami sudah banyak tekuras. Oleh sebabnya, ketika Hendi mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di Pos 4 Sabana (2.103 mdpl), kami spontan antusias dan kembali bersemangat untuk melanjutkan langkah kami. Akan tetapi, harapan kami untuk mendirikan tenda di sana pupus seketika tatkala mengetahui bahwa sabana yang terhampar di hadapan kami tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam bayangan. Tidak ada sama sekali dataran lurus bervegetasi ilalang nan luas itu. Yang ada hanyalah dataran miring yang tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda di atasnya. Seketika itu pula kami lemas. Dan setelah kami mendengar dari pendaki lain bahwa puncak masih harus ditempuh dalam waktu 2 jam lagi, kami pun memutuskan untuk beristirahat di kawasan sabana tersebut tanpa mendirikan tenda dan berencana untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak ketika matahari terbit nanti. Sementara itu, Haikal memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanannya menuju puncak saat itu juga untuk mendirikan tenda di sana. Kami tiba di Pos 4 Sabana kurang lebih pukul 03.00 WIB.
Tenda yang sudah susah payah dibawa secara bergiliran oleh anggota laki-laki rombongan kami tidak terpakai sama sekali. Dini hari itu, kami pun terpaksa membaringkan tubuh kami di atas tanah beralaskan matras; berselimutkan sleeping bag (walau tidak semuanya memakai); dan berpayungkan langit gelap berbintang tanpa dihalangi naungan tenda. Tubuhku menggigil melawan hawa dingin yang begitu menusuk. Aku berbaring di samping Tri. Sebelum kami berdua terlelap, kami menyempatkan diri untuk memasang koyo di hidung dan sejenak bercerita tentang berbagai hal termasuk Tri yang menceritakan pengalamannya ketika mendaki Gunung Prau dan Gunung Merbabu. Tak lama setelah itu, aku pun berusaha keras untuk tidur meski dingin masih begitu menyiksa dan rasa tidak nyaman tak kunjung beranjak untuk meninggalkan.
Komentar
Posting Komentar