PENDAKIAN GUNUNG KEMBANG (PART 3)
(Dokumen Pribadi - Pemandangan Gunung Sindoro (3.153 mdpl) dari Puncak Gunung Kembang)
Langit mulai terang. Aku terbangun begitu saja. Kuperhatikan sekeliling dan tak kujumpai Tri di sampingku. Kala itu aku belum benar-benar sadar dan hawa dingin masih begitu menusuk hingga secara tiba-tiba sebuah suara mampu membangkitkan kesadaranku secara penuh.
“Ngga ke puncak, Na?” tanya seorang teman bernama Intan.
“Wah, udah pada ke puncak ya?” ucapku.
“Cuma Tri sama Syifa” jelas Intan.
“Nyusul ah. Ayo, Tan!” ajakku kepadanya.
“Ayo!” Intan pun mengiyakan.
Setelah menyiapkan segala sesuatu yang sekiranya dibutuhkan, aku dan Intan pun bergegas menuju puncak Gunung Kembang. Barang bawaan seperti carrier beserta isinya sengaja kami tinggal dan hanya sebotol air mineral ukuran 1,5 liter yang tak terisi penuh yang aku dan Intan bawa secara bergantian. Pada saat itu, langit pagi yang masih belum terang secara sempurna diwarnai oleh semburat jingga nan kontras. Sungguh sebuah Mahakarya Semesta yang tak tertandingi oleh apapun, siapapun, sampai kapanpun.
Trek menuju puncak Gunung Kembang adalah tanah berilalang yang jauh dari kata landai. Untuk membantuku dalam mendaki, sembari berjalan aku pun menyempatkan diri untuk mencari kayu yang sekiranya dapat kujadikan sebagai tongkat. Sebenarnya, aku sudah memanfaatkan kayu sebagai tongkat sedari memasuki kawasan hutan. Keberadaan tongkat kayu ini amat sangat memudahkanku dalam mendaki karena mampu menjadi pijakan sehingga meminimalisasi risiko bagiku untuk jatuh atau tergelincir. Memang tak sebaik trekking pole, tapi setidaknya memiliki fungsi yang kurang lebih sama.
Tak butuh waktu lama dari Pos 4 Sabana, sampailah kami berdua di Pos 5 Tanjakan Mesra (2.243 mdpl). Di sini, aku dan Intan tertegun dengan nama yang diberikan terhadap pos yang kami singgahi ini. Unik dan tentunya mengundang pertanyaan. Apa istimewanya sehingga dikatakan mesra? Sedang mesra sendiri kita tahu mengarah kepada sesuatu yang erat atau akrab, sementara tanjakan ini sama sekali tidak terasa mesra. Namun, belakangan ini baru kutahu bahwa kata “Mesra” yang disematkan di belakang kata “Tanjakan” merupakan singkatan dari kepanjangan sebuah frasa “Menyiksa Raga”. Huh! Pantas saja.
Tidak jauh dari Pos 5 Tanjakan Mesra, aku dan Intan mendapati Tri dan Syifa berjalan tidak jauh di depan kami. Setelah kami berempat tak berjarak, formasi berubah. Intan berjalan bersama Syifa, sedang aku bersama Tri. Intan dan Syifa bergerak cepat di depan aku dan Tri, sementara aku dan Tri bergerak santai. Gagahnya siluet Gunung Sumbing di kejauhan dengan pesona jingga di sekitarnya mampu menghipnotis aku dan Tri sehingga tanpa terasa Intan dan Syifa sudah tidak lagi terlihat. Setelah puas menikmati keindahan yang tersuguh, aku dan Tri pun kembali melanjutkan perjalanan.
Seusai bergulat dengan tanjakan demi tanjakan yang amat menyiksa, tiba lah aku dan Tri di Geger Celeng (2.295 mdpl). Geger Celeng merupakan sebuah punggungan kecil yang berada sebelum puncak Gunung Kembang. Dan tak jauh dari Geger Celeng, sampailah aku dan Tri di Puncak Gunung Kembang (2.340 mdpl). Alhamdulillah, akhirnya...
Ternyata, dari Pos 4 Sabana menuju puncak tidak memakan waktu hingga 2 jam seperti apa kata seorang pendaki sebelumnya. Bahkan kurang dari 1 jam kami sudah sampai di puncak. Sungguh menyebalkan. Tapi tak apalah, sudah terlanjur. Yang penting aku sudah mampu menggapai puncak Gunung Kembang meski dengan usaha yang tidak mudah. Puncak Gunung Kembang sendiri merangkap sebagai Camp Area sehingga tidak heran banyak tenda didirikan di sini. Meskipun begitu, tidak menghalangi kami untuk menikmati panorama di sekitar puncak yang begitu luar biasa. Samar-samar terlihat Gunung Prau di kejauhan. Dan yang lebih istimewanya lagi, Gunung Sindoro terlihat sangat jelas di depan mata kami. Keberadaannya hanya dipisahkan oleh sebuah kawah mati bernama Bimo Pengkok yang telah ditumbuhi rumput. Decak kagum dan ucapan syukur tak pernah berhenti mengalir. Sungguh sebuah lanskap yang luar biasa indah tak terbantahkan. Kami pun tak lupa untuk mengabadikan momen berada di puncak Gunung Kembang dengan memanfaatkan kamera ponsel. Dan di puncak, kami kembali bertemu dengan Haikal yang memang telah memilih untuk mendirikan tenda di sini.
Puas, aku, Tri, dan Intan pun memutuskan untuk kembali ke Pos 4 Sabana. Haikal pun ikut turun bersama kami dan memutuskan untuk kembali bergabung dengan rombongan. Tatkala kami turun, di kejauhan terlihat Yunda, Ichsan, dan Hendi sedang berjalan menuju puncak. Di antara mereka bertiga tak terlihat Chandra yang ternyata lebih memilih untuk menetap di Pos 4 Sabana karena memang tidak berniat menyambangi puncak. Mengetahui Yunda menyusul, Aku dan Tri pun memutuskan membatalkan rencana kami untuk kembali ke Pos 4 Sabana saat itu juga agar bisa menemani Yunda di puncak. Sementara Intan tetap memutuskan untuk turun menuju Pos 4 Sabana.
Sesampai di puncak, kabut mulai turun sehingga menutupi sebagian besar keberadaan Gunung Sindoro. Sementara Ichsan dan Hendi memilih untuk bersantai di bawah pohon, aku, Tri, dan Yunda memilih untuk menjelajahi segala penjuru puncak. Sampai tak terasa matahari telah meninggi, kami bertiga masih betah berada di atas sini. Ichsan dan Hendi turun mendahului kami bertiga dan kami menyusul turun dengan selisih waktu yang cukup lama dari mereka berdua. Bukan bermaksud membuat anggota rombongan lain menunggu kami bertiga terlalu lama di bawah, akan tetapi terjadi sesuatu hal yang membuat kami bertiga harus bertahan di puncak lebih lama lagi.
Kami bertiga pun akhirnya turun. Entah mengapa aku merasa takut terlebih ketika kulihat pemandangan di bawahku. Turunan yang curam sungguh menyulitkan kami. Awalnya memang kami berjalan, namun lama kelamaan kami bergerak dengan cara duduk layaknya sedang berada di atas perosotan. Tak mengapa baju, jaket, dan celana kami menjadi lebih kotor, yang penting selamat.
Aku, Tri, dan Yunda akhirnya sampai di Pos 4 Sabana dengan perasaan yang tidak enak karena sudah membuat anggota rombongan yang lain menunggu terlalu lama. Kami bertiga pun lalu memasak mi instan untuk mengisi perut kami yang sudah begitu keroncongan. Tiga bungkus mi instan sekaligus kami masak di dalam satu nesting untuk kemudian kami bertiga makan secara bersama-sama. Ah, nikmat sekali.
Setelah perut kami semua terisi, kami pun mengemas barang-barang kami pribadi juga tak lupa membungkus sampah yang kami hasilkan ke dalam kantong plastik untuk kemudian kami bawa turun dan dibuang di tempat yang seharusnya. Tak seperti saat naik, ketika turun, kami bersembilan juga ditemani sepasang pendaki yang kami kenali semasa di Pos 4 Sabana tadi karena memang rombongan kami beristirahat tepat di samping tenda mereka berdua. Keberadaan sepasang pendaki tersebut begitu membantu rombongan kami karena mereka tak segan menawarkan bantuan berupa webbing (tali) juga mengajarkan pengetahuan baru kepada kami bahwa meminta air kepada pendaki lain merupakan sesuatu hal yang wajar dan tidak apa-apa karena memang begitu lah etika yang harus dilakukan ketika mendaki yaitu “tidak boleh egois dan harus menolong sesama pendaki yang memerlukan pertolongan termasuk dalam hal kebutuhan air”.
Aku terbilang cukup sering terjatuh dan terpeleset ketika perjalanan turun dibandingkan ketika naik. Hal tersebut terjadi karena aku sering kehilangan keseimbangan, kondisi tanah yang licin, juga kedua kakiku yang terasa sakit. Puncak di mana kakiku merasakan sakit yang teramat sangat adalah ketika memasuki perkebunan teh. Di area ini, aku tak bisa berjalan cepat. Ditambah medan berbatu semakin menyulitkan aku untuk melangkah sehingga aku semakin sering terjatuh. Di sini, aku begitu putus asa. Kondisi diperparah dengan gerimis yang perlahan turun dan rusaknya sepatu yang aku kenakan. Aku merasa begitu sial dan ingin sekali menyerah. Perasaan tidak enak menjalari hatiku dan membuatku berkali-kali mengatakan kepada teman-teman di sisiku yaitu Tri, Intan, dan Syifa untuk meninggalkanku saja. Apa yang terjadi kemudian setelah aku berkata demikian? Ya, aku kena marah. Berkali-kali Tri memarahiku yang dianggap berpikir tidak rasional. Dia menjelaskan kepadaku bahwa di dalam sebuah pendakian tidak seharusnya kita saling meninggalkan terlebih meninggalkan teman yang sedang kesakitan sepertiku. Mendengar itu, aku tertohok. Perasaanku semakin campur aduk, aku merasa marah kepada diriku sendiri karena sudah menyusahkan teman-temanku, akan tetapi, aku juga merasa bersyukur kepada mereka bertiga terutama Tri yang sudah begitu sabar menemani dan menungguiku melangkah dengan kedua kakiku yang hampir mati rasa ini.
Dengan langkah lemas berbalut sepatu yang begitu kurang ajar ini, aku dan ketiga temanku pun akhirnya sampai kembali di basecamp. Terlihat teman-teman yang sudah terlebih dahulu sampai sedang duduk bersama sembari mengobrol. Kami berempat pun bergegas untuk bergabung dengan mereka. Kuluruskan kedua kakiku dan memijatnya perlahan. Untuk menghilangkan dahaga, kupesan dua gelas minuman dingin sekaligus yaitu segelas es kopi dan segelas es jeruk. Seorang teman bernama Chandra berkomentar tentang tingkahku yang terkesan rakus itu dan kujawab saja seadanya yang penting rasa hausku bisa hilang dengan segera walaupun setelah itu aku merasakan tubuhku menggigil. Huft!
Saat istirahat dirasa cukup dan masing-masing dari kami selesai membereskan barang bawaan, kami pun pulang. Tentu saja Haikal pulang terlebih dahulu dibandingkan kami berdelapan. Aku dan Yunda tak sempat menyalaminya, karena ketika Haikal pamit, kami berdua sedang berada di kamar mandi. Agak menyesal memang tak sempat menyalami Haikal, tapi ya sudahlah.
Untung saja Tri membawa sandal jepit, jadi aku tak perlu bertelanjang kaki karena sepatuku yang rusak itu. Meski kekecilan, tapi tak masalah. Lagi-lagi Tri menjadi penolongku. Terima kasih banyak ya, Tri. Sungguh aku semakin menyayangimu :)
Saat itu, hari telah sore. Gelap karena tertutup kabut. Beberapa kali pula gerimis mengguyur. Di sepanjang perjalanan, terlihat tak sedikit pendaki yang hendak mendaki Gunung Kembang. Setiap kali berpapasan, masing-masing dari kami saling melemparkan senyuman dan tak jarang sembari menganggukkan kepala. Sungguh suasana yang begitu hangat dan syahdu. Di sini semuanya sama, tak ada jurang pemisah yang membuat kami ragu untuk saling menyapa dan menyemangati. Dari peristiwa ini, memang terbukti jika bahagia itu sederhana walau tak kusangka akan sesederhana itu.
Dalam perjalanan pulang, aku dan Chandra berbincang lebih banyak dibandingkan ketika berangkat. Kami berdua saling bertukar cerita yang tak jauh dari persoalan kuliah. Tanpa terasa, rombongan berjalan terpencar walau ketika memasuki jalanan di wilayah Semarang kami kembali bertemu. Kami semua sampai di indekosku, Intan, dan Tri mendekati pukul 19.00 WIB. Setelah sampai, kami segera membongkar barang-barang untuk kemudian mengembalikan barang-barang sewaan supaya tidak dikenai biaya tambahan karena saat itu juga masa sewanya habis. Dan seusai semuanya beres, kami berdelapan sejenak bersantai sembari mengobrol dan meminum es kopi yang dibelikan oleh Intan dan Chandra. Tak lama kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang ke indekos masing-masing. Sebelum berpisah, kami semua berjabat tangan dan saling melemparkan ucapan terima kasih untuk petualangan luar biasa yang baru saja berakhir. Terima kasih teman-teman untuk pengalamannya! Sampai kapan pun akan selalu kukenang dalam ingatan :)
Komentar
Posting Komentar