PENDAKIAN GUNUNG KEMBANG (PART 1)
(Dokumen Pribadi - Sunrise dan Penampakan Gunung Sumbing (3.371 mdpl) dari Gunung Kembang di Kejauhan)
Sudah lama aku menantikan momen ini. Sebuah momen di mana akhirnya aku bisa mengunjungi salah satu mahakarya Semesta. Sebelumnya, aku tak pernah sama sekali memikirkan apalagi berhasrat untuk mendatangi tempat semacam ini. Akan tetapi, setelah aku menyaksikan sebuah film karya anak bangsa yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama, tumbuh sedikit demi sedikit keinginan dalam diriku untuk melangkahkan kedua kakiku di tempat yang serupa dengan apa yang ada di dalam film tersebut. Tempat yang dimaksudkan adalah “Gunung”.
Rumahku sendiri berada di kaki Gunung Slamet (3.428 mdpl); gunung tertinggi di Jawa Tengah sekaligus tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl) yang menjadi lokasi utama dari film yang kubicarakan di atas. Sebelum aku menonton film tersebut, aku merasa biasa saja dengan keberadaan Slamet nan gagah. Namun, setelah aku melihat keindahan Semeru digambarkan teramat apik di dalam film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani berjudul 5 cm itu, aku menjadi begitu bergelora untuk bisa menggapai puncak tertinggi kedua Pulau Jawa itu suatu hari nanti. Entah kapan, intinya aku ingin.
Kali ini, aku bukan ingin menceritakan pengalamanku dengan Gunung Slamet. Melainkan, aku ingin berbagi kisah pendakian pertamaku di sebuah gunung bernama Gunung Kembang. Gunung Kembang secara administrasi berlokasi di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 2.340 mdpl ini berada persis di samping Gunung Sindoro (3.153 mdpl), karena memang, Gunung Kembang terbentuk akibat dari adanya aktivitas dari Gunung Sindoro. Oleh sebab itu pula, Gunung Kembang dijuluki sebagai “Anak Gunung Sindoro”. Awalnya, aku beserta rombongan yang terdiri atas 8 orang (4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan) termasuk aku, berencana untuk mendaki Gunung Ungaran (2.050 mdpl) yang terletak di Kabupaten Semarang. Akan tetapi, karena Gunung Ungaran mengalami kebakaran, maka, kami pun memutuskan mengganti destinasi kami menjadi Gunung Kembang. Hal yang mendasari kami untuk memilih Gunung Kembang sebagai tujuan yaitu karena Gunung Kembang memiliki view yang bagus (bisa melihat Gunung Sindoro dari jarak yang amat dekat), ketinggian yang masih berada di kisaran 2.000 mdpl, juga pendakian Gunung Kembang masih cenderung baru karena memang jalur pendakiannya baru secara resmi dibuka sekitar awal bulan April 2018 sehingga begitu menarik perhatian kami karena pasti pengunjungnya belum seramai gunung-gunung lain di sekitarnya seperti salah satunya adalah Gunung Prau (2.565 mdpl). Kami berangkat dari Semarang pada 27 Oktober 2018 sore hari dengan menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan menuju Kabupaten Wonosobo, beberapa kali gerimis mengguyur kami sehingga kami menyempatkan menepi untuk mengenakan jas hujan yang telah kami siapkan sedari di indekos. Selain itu, berbagai jenis permukaan jalan pun kami temui. Tidak melulu mulus, kami juga menemui jalan berbatu dengan kemiringan yang amat sangat dan tikungan yang begitu tajam. Jalanan berbatu itu harus kami lewati jika ingin menuju ke basecamp Gunung Kembang yang terletak di Desa Blembem, Damarkasihan, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo. Kami sampai di jalanan tersebut ketika terangnya langit telah digantikan oleh kehadiran gelap. Dan di situ, terjadi sebuah peristiwa yang cukup menggelikan bagiku di mana aku terpaksa turun dari motor yang aku tumpangi karena motor tersebut tidak cukup kuat untuk menanjak jika aku masih memaksakan diriku tetap membonceng di atasnya. Sementara Chandra, pemilik motor itu bersusah payah mengendarai motornya menuju jalanan yang landai di atas sana di mana teman-temanku yang lain menunggu, aku pun harus bergerak menuju ke tempat teman-temanku berada dengan berjalan kaki seorang diri. Aku dengan beban tas carrier berukuran 60 liter di pundak berjalan sembari bertanya-tanya apakah sama seperti ini rasanya mendaki ketika berada di jalur pendakian yang sesungguhnya nanti? Ya, mungkin saja.
Ketika aku sampai di tempat teman-temanku berada, mereka pun menanyakan perihal peristiwa yang menimpaku dan Chandra sehingga membuatku harus berjalan kaki. Seorang temanku bernama Tri terlihat begitu mengkhawatirkan aku. Kulihat matanya berkaca-kaca menatapku. Aku pun berusaha meyakinkannya dan semua teman-temanku yang lain bahwa aku baik-baik saja.
Setelah rehat sebentar dan mengisi bensin, perjalanan pun dilanjutkan. Tak lama dari jalan bebatuan tadi, sampailah kami di kawasan perkebunan teh. Di sini, kabut begitu tebal menyelimuti. Memangkas tajam jarak pandang kami. Beberapa upaya kami lakukan supaya pekatnya kabut tidak terlalu menghalangi laju kami, salah satunya adalah dengan membuat motor kami berjalan sejajar untuk kemudian menyoroti jalanan di depan kami dengan cahaya lampu motor secara bersama-sama. Ah, lega rasanya ketika akhirnya kami sampai juga di basecamp Gunung Kembang. Aku lupa pukul berapa kami tiba di basecamp, yang jelas untuk ukuran malam masih terlalu dini. Sesampai di basecamp, kami beristirahat menghilangkan sedikit rasa pegal sehabis perjalanan tadi sembari mengobrol dan menikmati cemilan yang kami bawa. Tak lupa juga kami melaksanakan kewajiban ibadah lima waktu. Tatkala kami berkumpul, datang seorang laki-laki menghampiri kami. Laki-laki tersebut bernama Haikal. Dia datang seorang diri dari Banjarnegara untuk mendaki Gunung Kembang. Haikal meminta bergabung dengan kami dan dengan senang hati kami menyambut kedatangan Haikal ke dalam rombongan.
Setelah istirahat dirasa cukup dan Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) Gunung Kembang sebesar Rp15.000,00 perorang telah dibayar, kami berdoa bersama untuk kemudian memulai kegiatan pendakian kami yang sesungguhnya di Gunung Kembang.
Komentar
Posting Komentar